Polisi tetapkan tiga penagih Utang Kartu Kredit Citibank menjadi Tersangka
Demikian petikannya :Jakarta,Kompas-Polisi menteapkan tiga penagih utang, A, H dan D sebagai tersangka karena menyebabkan kematian Irzen Octa(56), nasabah kartu kredit, SelaSA(29/3). Mereka diduga menganiaya jiwa korban sehingga korban stroke dan meninggal. Irzen diduga tewas setelah diinterogasi tiga tersangka.
Ternyata di Indonesia masih saja banyak preman berbaju rapih, berkedok, yang kelakukannya tak lebih dari preman kampung yang suka mengandalkan kekuatan dan kekasaran untuk menunjukkan ke-eksis-annya.
Saya coba melihat kejadian ini dari dua buah sisi sudut pandang dan pemikiran.Sisi yang pertama dari pihak pemberi kredit.Darimanakah mereka mendapatkan keuntungan? Tentunya dari mengkreditkan uangnya kepada pihak yang menerima kredit.Dalam bahasa agamanya meribakan uang, dalam bahasa gaul sehari harinya adalah membungakan uang.Mereka bisa eksis karena hasil dari “uang riba” tersebut. Mereka bisa menggaji karyawannya dengan gaji yang tinggi, memberi fasilitas, dan juga membpunyai asset perusahaan seperti gedung dan lain lainnya tentu saja juga dari uang hasil “ribaan” tersebut.
Mereka “menjual uangnya” untuk mendapatkan keuntungan dan bukan kebuntuan. Bagaimana jika terjadi kebuntuan? Maka pihak “penagih Utang” lah yang akan bergerak dengan caranya yang “ELEGAN” itu untuk menyelesaikan utang piutang dari peminjam tersebut.Jika tidak, maka dana mereka tentu saja akan tersendat dan usaha mereka jadi tidak lancar. Jika demikian, maka kemungkinan tak ada lagi cara yang lebih elegan daripada melibatkan dan menggerakkan para penagih utang yang biasanya berbadan besar, berambut cepak, berjaket kulit,layaknya seorang pasukan dari detasemen khusus, atau berbaju seragam meniru para anggota paspamres.
Mereka tak segan segan menggunakan keahlian mereka seperti seorang raja hutan menguasai hutan dengan aumannya yang membahana.
Apalagi yang dihadapi oleh raja hutan itu hanyalah seekor kelinci.Tentu kelinci itu akan terkencing kencing mendengar auman dari raja hutan tersebut.
Agama tertentu melarang kita berhubungan dengan bank untuk urusan pinjam meminjam, karena haram hukumnya meribakan uang, atau mendapat uang dari hasil riba.Mungkin kali ini patut kita dukung. Tapi dilain pihak, maka akan banyak usaha yang hancur karena tidak adanya kredit mengkredit. Jika mengkreditnya barang tentu saja lebih terasa maklum,karena siapa yang punya uang cash saat ini? Semua banyak melakukan proses kredit mengkredit.Semua terasa begitu mudah saat proses kredit terjadi.Tapi setelah penagihan? Ituah yang banyak jadi kendala saat ini.
Tidak salah dilihat dari kaca mata pemberi kredit, karena mereka memberi kemudahan dan fasilitas nasabahnya untuk melakukan proses kredit. Dengan harapan mereka akan mendapatkan “uang riba” dari hasil kredit yang mereka berikan.
Setiap orang ingin berdagang, ada yang berdagang barang, dan kali ini yang kita bicarakan tak bedanya berdagang uang. Jika mereka banyak membantu yang tak punya menjadi mempunyai sesuatu atas jasa kredit mereka, kenapa kredit mengkredit harus ditabukan? Itu tentunya yang menjadi argumen mereka. Oke lah kita sisihkan dulu kredit mengkreditnya. Yang coba kita ungkap adalah cara melakukan penagihan bagi kredit macet mereka. Intimidasi, kekerasan dan penekanan psikis mungkin sudah menjadi trade merk yang amat kental yanng tak bisa dipisahkan dari “para penagih utang” tersebut. Dari bahasa yang sok elegan, sampai bahasa kebun binatang tentunya akan dipraktekkan untuk menyelesaikan “kemacetan” yang mereka alami dalam menghadapi para nasabah mereka. Lalu setelah terjadi kasus seperti yang dimuat KOMPAs hari ini, semuanya saling melempar tanggung jawab dan saling tidak mengakui.Di atas kertas mereka tentunya harus mematuhi regulasi tentang cara menagih yang tidak melibatkan kekerasan dan penekanan secara psikis, tapi di lapangan, apakah semua itu bisa diterapkan dengan begitu saja? Tentu tak gampang.
Banyak nasabah yang lemah, lembut, berpendidikan, sopan dan santun, tapi tak kalah banyak nasabah yang berjiwa sama seperti preman.Mereka kadang mungkin lebih galak dari penagihnya. Jika melihat dari sisi penagih, dan pihak pemberi kredit, tentu akan banyak suka duka yang mereka alami tanpa media pernah tahu dan tanpa media pernah angkat ke permukaan.Akan Tetapi semua itu tidak membenarkan jika kemudian mereka menggunakan cara yang kasar untuk bisa melakukan proses penagihan.
Sekarang saya hanya ingin berbagi dengan semua lapisan masyarakat. Jaman sekarang kita harus membuktikan bahwa hukum itu harus ditegakkan. Jika anda dicubit sekalipun, anda berhak melaporkannya kepada pihak yang berwajib untuk diproses.Apalagi jika yang terjadi sampai menghilangkan nyawa orang. Jadi alangkah baiknya untuk para penagih utang itu tidak usah melakukan kekerasan dengan superpowernya. Lakukan pendekatan secara persuasif dan pilihlah dulu siapa yang layak menjadi nasabah dari kartu kredit mereka.
Dari sisi nasabah, tentunya akan sangat tidak terima dengan perlakuan dari para penagih utang tersebut, apalagi jika ternyata mereka menjadi korban dari kekerasan psikis yang dilakukan oleh pemberi kredit yang sampai membuat mereka sakit, bahkan sampai meninggal dunia.Mereka tentunya sudah mengalami seleksi yang kuat dari pihak tertentu, dalam hal ini tentunya pihak pemberi kredit, untuk bisa menjadi nasabah. Tentunya telah dilakukan proses cek dan ricek akan data diri dari calon nasabah mereka. Jka terjadi kemacetan, tentunya ada banyak faktor yang terjadi karenanya. Seperti :
Kesalahan pencatatan yang merugikan nasabah, atau kejadian luarbiasa yang terjadi dan dialami nasabah seperi kerampokan, pencurian, tertipu, atau mengalami kemacetan dalam bidang perekonomian mereka.Telusuri dulu oleh pihak pemberi kredit sehingga cara penanganan penagihan akan mengalami proses yang baik dan benar.Jika dari pihak pemberi kredit saling lempar batu setelah terungkapnya kejadian yang mencuat kepermukaan ini, maka alangkah bodohnya para penagih utang itu karena mereka cuma “dimanfaatkan” untuk melakukan tindak kekerasan yang diplintir plintir.
Begitu maraknya kartu kredit beredar, siapa yang harus disalahkan? Apakah para sales yang juga banyak berjasa meng approve calon nasabah untuk menjadi pemegang kartu kredit. Mereka juga banyak melakukan kenakalan kenakalan dengan menggunakan kartu kredit sebelum sampai ketangan pemegangnya.
Jangan hanya menekan dan menyalahkan pemakai kartu kredit atas kemacetan yang terjadi, karena banyak faktor yang harusnya dianalisa terlebih dahulu sebelum mereka memerintahkan “para raja hutan” itu untuk mengaum dan terus mengaum yang berujung pada kefatalan.
Mendengar petikan dari kompas membuat saya tergelitik karena kalimat ini :
Ditta menegaskan , Citibank memiliki kode etik yang harus dipatuhi penagih hutang, termasuk larangan menggunakan kekerasan .
Ternyata menurut koran Kompas, ketiganya adalah bukan karyawan citibank, dan berasal dari agensi penagih hutang.
Sungguh menggelikan. Mari kita coba bahas misalkan sebuah perusahaan yng go internasional, yang bukan hanya ada di Indonesia saja, tapi sudah hampir semua negara di dunia. Sebuah perusahaan besar dengan standarisasi pegawai yang hebat, bisa memasrahkan urusan penagihan utangnya kepada sembarang agensi “penagih utang”.
Sama dengan proses percaloan. Apakah calo itu harus diberantas? Tentu saja. Tapi apakah kemudian hanya calo saja yang harus dioperasi dan dikenai sanksi? Menurut hemat saya, para pengguna jasa yang membeli jasa calo pun harus didenda.Apakah mungkin? Jika tidak mungkin, sama juga dengan kejadian para penagih utang itu.
Mana ada pihak yang akan mengakui bahwa itu adalah orang mereka?
Menurut pemikiran orang awam pun, jika sudah dipilih artinya ada rekanan dalam pekerjaan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, dan tentu saja pihak pihak yang terlibat didalamnya saling berhubungan. Apakah ada tertulis mengatakan bahwa, misalkan pihak A,mengatakan dengan keras agar pihak yang ditunjuk sebagai agensi penagihan utang tidak boleh melakukan kekerasan bla bla bla. Atau malah terjadinya kedipan dengan artian tahu sama tahu bakalan yang terjadi dilapangan itu seperti apa?
Semua mencari langkah seribu dan menyelamatkan dirinya masing masing. Atau semua pura pura tidak tahu dengan apa yang akan dilakuakan oleh para penagih utang dari agensi yang disewanya padahal sebenarnya mereka tahu dengan ketidak tahuan mereka itu?
Lagi lagi yang ada hanya misteri, misteri yang sudah jadi rahasia, sayangnya, rahasia yang kali ini dinamakan “rahasia umum”.
Jika Indonesia dan pihak berwajib terus menutup mata terhadap praktek premanisme apapun bentuknya, niscaya Indonesia tak akan pernah terbebas dari penjajah.Dulu ketika jaman Kapolri SUTANTO yang mendeklarasikan melawan habis premanisme,premanisme bagai harimau ompong. Sayang Kapolri sekarang tidak setegas dan seberani Kapolri terdahulu Jendral Pol. Sutanto. Jika ya, maka praktek praktek seperti yang terjadi dan diberitakan oleh surat kabar terkenal itu tak akan lagi terjadi, dan menimpa rakyat Indonesia.
Pembuluh darah otak pecah? Sangat ironi….
Bukankah ini juga dinamakan terorisme dalam bentuk lain?
Saya hanya berpikir, untuk apa mempunyai kartu kredit yang bisa menjadi akhir dari kehidupan kita. Buat apa memilikinya kalau akhirnya kehidupan jadi tidak tenang, punya banyak utang dan akan mengalami kekerasan psikis dari barang yang didapat dari kartu kredit.
Pilih kartu kredit, atau hidup tenang?
Pilih hidup dalam kemewahan dengan banyak hutang atau pilih hidup sederhana dengan kenyaman, kedamaian, dan rasa aman?
Anda sendiri yang bisa memutuskan.
Abaikan pilihan diatas jika anda merasa yakin dengan tindakan anda menggunakan kartu kredit sebagai alat bantu dakam mencapai cita cita kehidupan anda….
Salam.
By smile
01-04-2011
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar yang anda berikan. Tuhan Yesus Memberkati